segan."
Aku tak menjawab. Dan nampaknya ia memaafkan kekikukanku.
"Kalau Sinyo pelajar H.B.S. tentu Sinyo putra bupati. Bupati mana itu, Nyo ?"
"Tidak, eh, eh...."
"Begitu segannya Sinyo menyebut aku. Kalau ragu tak menghinakan diri Sinyo, panggil saja Mama, seperti Annelies juga."
"Ya, Minke," gadis itu memperkuat. "Mama benar. Panggil saja Mama."
"Bukan putra bupati mana pun. Mama," dan dengan memulai sebutan baru itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap.
"Kalau begitu te'ntu putra